Industri video game selalu dipenuhi dengan siklus ekspektasi yang tinggi menjelang perilisan sebuah judul besar, terutama jika itu adalah adaptasi dari properti intelektual populer seperti Spider-Man. Sayangnya, tidak semua game berhasil memenuhi harapan tersebut. Salah satu contoh paling mencolok dari ketidaksesuaian antara ambisi dan eksekusi adalah The Amazing Spider-Man 2. Yang dirilis pada tahun 2014. Jauh dari pujian dan penghargaan “Game of the Year” (GOTY), game ini justru menjadi contoh studi kasus tentang apa yang bisa salah dalam pengembangan adaptasi superhero dan mengapa ia gagal meninggalkan jejak signifikan di kancah GOTY.
Latar Belakang dan Ekspektasi Awal The Amazing Spider-Man 2
Dirilis bertepatan dengan filmnya, The Amazing Spider-Man 2 dari Beenox dan Activision mencoba memanfaatkan momentum popularitas pahlawan laba-laba. Game sebelumnya, The Amazing Spider-Man (2012), meskipun tidak revolusioner, cukup diterima dengan baik sebagai open-world Spider-Man. Ini menumbuhkan harapan bahwa sekuelnya akan membangun fondasi tersebut, menawarkan gameplay yang lebih halus, narasi yang lebih kuat, dan dunia yang lebih hidup. Apalagi, Beenox memiliki pengalaman dengan franchise Spider-Man, yang seharusnya menjadi nilai tambah.
Fitur-fitur yang dijanjikan, seperti mekanika web-swinging yang lebih realistis (membutuhkan jaring menempel pada bangunan), sistem moral “Hero or Menace”, dan daftar penjahat yang lebih luas, terdengar menjanjikan di atas kertas. Penggemar membayangkan pengalaman menjadi Spider-Man yang otentik dan imersif di kota New York yang dinamis.
Baca juga :
Kenyataan Pahit dan Ulasan Kritis The Amazing Spider-Man 2
Namun, ketika The Amazing Spider-Man 2 akhirnya dirilis, kenyataannya jauh dari harapan. Game ini disambut dengan ulasan yang kurang memuaskan dari kritikus dan penggemar. Skor Metacritic-nya berkisar di angka 50-an, menjadikannya salah satu game Spider-Man dengan rating terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Beberapa poin kritik utama yang menghancurkan peluangnya di arena GOTY meliputi:
- Dunia Terbuka yang Hambar: Meskipun New York digambarkan sebagai open-world, kota terasa kosong dan minim interaksi. Misi sampingan berulang dan monoton, gagal memberikan alasan yang cukup bagi pemain untuk menjelajahi kota selain untuk web-swinging.
- Mekanika Web-Swinging yang Inkonsisten: Meskipun dijanjikan lebih realistis, implementasinya terasa canggung. Terkadang jaring menempel pada bangunan yang tidak terlihat, dan kontrol terasa kurang presisi dibandingkan game Spider-Man sebelumnya (terutama seri Spider-Man 2 dari Treyarch atau bahkan Ultimate Spider-Man).
- Pertarungan yang Repetitif dan Membosankan: Sistem pertarungan yang mirip dengan seri Batman: Arkham pada dasarnya baik. Tetapi eksekusinya di The Amazing Spider-Man 2 terasa dangkal. Variasi musuh terbatas, dan setiap pertarungan terasa sama, dengan animasi yang kaku dan minim impact.
- Narasi yang Lemah dan Terputus: Cerita game ini mencoba mengikatkan diri dengan film. Tetapi hasilnya adalah narasi yang terputus-putus, terburu-buru, dan karakterisasi yang kurang mendalam. Plot terasa seperti serangkaian misi tanpa kohesi emosional.
- Masalah Teknis: Game ini dirundung masalah teknis seperti bug, glitch, dan pop-in tekstur, yang semakin merusak pengalaman bermain.
Jauh dari Nominasi Game of the Year
Dengan segala kekurangan tersebut, The Amazing Spider-Man 2 bahkan tidak mendekati nominasi untuk penghargaan Game of the Year dari platform atau media besar mana pun. Tahun 2014 sendiri merupakan tahun yang kompetitif dengan rilis game-game fenomenal seperti Dragon Age: Inquisition, Middle-earth: Shadow of Mordor, Mario Kart 8, dan Bayonetta 2. Game-game ini menawarkan inovasi, narasi yang kuat, dan gameplay yang dipoles. Membuat The Amazing Spider-Man 2 terlihat semakin pucat di samping mereka.
Pelajaran dan Warisan
Kegagalan The Amazing Spider-Man 2 menjadi pengingat penting bagi industri game bahwa adaptasi superhero membutuhkan lebih dari sekadar nama besar dan lisensi film. Kualitas gameplay, kedalaman cerita, dan eksekusi teknis yang solid adalah hal yang utama.
Ironisnya, kegagalan ini mungkin secara tidak langsung membuka jalan bagi kesuksesan Marvel’s Spider-Man (2018) dari Insomniac Games. Setelah jeda beberapa tahun, Insomniac diberikan kesempatan untuk menciptakan visi mereka sendiri tentang Spider-Man. Tanpa terikat langsung pada cerita film, yang menghasilkan salah satu game superhero terbaik sepanjang masa dan tentu saja, pemenang berbagai penghargaan GOTY.
The Amazing Spider-Man 2 akan selalu dikenang bukan sebagai pesaing GOTY, melainkan sebagai sebuah studi kasus yang menunjukkan pentingnya memberikan waktu yang cukup untuk pengembangan, memprioritaskan kualitas di atas tanggal rilis film. Dan mendengarkan umpan balik dari komunitas game.